Misteri Kematian Pukul 9, di Kamar 9 Rumah No 9

Di Tulis Oleh Unknown


Menurut Mamik, yang sekaligus bertugas membersihkan penginapan, diketahuinya pasutri itu meninggal berawal dari suara tangis anak pasutri tersebut, yaitu...

Pasangan suami istri (pasutri) Tjua A Beng (52) dan Risdianti (50) ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan, Jumat (12/3). Kedua jenazah ditemukan pertama kali oleh Mamik (21) penjaga rumah penginapan ‘Sulung Kawatan’ di kamar nomor 9 di Jl Kawatan Gang IV Nomor 9, Surabaya, sekitar pukul 09.00. Mereka telentang dengan leher terikat tali rafia di kursi dan tiang tempat tidur.

Menurut Mamik, yang sekaligus bertugas membersihkan penginapan, diketahuinya pasutri itu meninggal berawal dari suara tangis anak pasutri tersebut, yaitu Kim Ling alias Turki yang berusia 7 tahun. “Saat itu saya sedang membersihkan kamar nomor 10. Saya dengar ada suara anak menangis. Awalnya pelan, kemudian keras sambil menjerit-jerit. Cukup lama, sekitar 10 menit,” tutur Mamik.

Dia kemudian mendatangi kamar nomor 9 itu, dan menemukan pintu dalam kondisi tidak terkunci. Mamik lantas membuka pintu dan melihat Kim Ling menangis di atas tempat tidur. Oleh Mamik, Kim Ling diajak keluar kamar, ditenangkan di kantor penginapan.

Mendengar penuturan Kim Ling tentang kondisi orangtuanya, bersama rekannya, Eni, 19, Mamik lantas menghubungi Mapolresta Surabaya Utara di Jl Raya Bubutan.

Kurang dari lima menit kemudian, polisi datang mengamankan lokasi. Datang kemudian anggota dari Laboratorium Forensik (Labfor) Mabes Polri Cabang Surabaya, yang melakukan olah TKP dan evakuasi kedua jenazah.

Dari pengamatan di tempat kejadian, terlihat kondisi kedua jenazah sudah kaku. Leher Tjua yang mengenakan atasan batik warna biru dan celana panjang cokelat, terjerat tali rafia merah yang diikatkan di dudukan kursi kayu. Ia telentang sejajar dengan letak tempat tidur. Di belakangnya, pas di depan pintu kamar mandi, tergolek jenazah Risdianti, dengan leher terjerat tali rafia yang diikatkan di salah satu kaki bagian atas tempat tidur.

Di dalam kamar nomor 9 tersebut, polisi menemukan dua tas berisi pakaian, beberapa buku kecil bacaan surat Yasin, botol air mineral yang terisi separo, serta beberapa obat-obatan. Ada pula amplop putih yang di dalamnya berisi kertas terbungkus plastik flip. Dalam kertas tersebut tertulis doa bahasa Arab yang ditulis dalam huruf latin.

Juga ada beberapa lembar kertas bertuliskan nama dan nomor ponsel atas nama Siti Suleha dan Holili, warga Jember. Juga nama dan nomor telepon Sholeh asal Situbondo. Nomor-nomor tersebut ketika dihubungi polisi, mengaku mengenal pasutri tersebut. Namun, mereka menyebut bukan anggota keluarga dari keduanya.

”Kami mengenal mereka berdua, tapi mereka bukan anggota keluarga kami,”jawaban Siti ketika dihubungi polisi.

Sedangkan di dalam dompet milik Tjua, polisi menemukan KTP yang masa berlakunya sudah habis 26 Februari lalu 2008 lalu, dan di situ tertulis alamat di Kamkong Meral RT 03, RW 02 Meral, Desa Meral Kota, Kecamatan Meral, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Tidak ditemukan adanya uang tunai dalam dompet tersebut.

Kapolresta Surabaya Utara, AKBP Djoko Hariutomo mengatakan, dugaan sementara pasutri ini melakukan bunuh diri. ”Hasil sementara dari pemeriksaan luar, terlihat ada bekas jeratan di leher masing-masing. Sementara tanda-tanda bekas tindak kekerasan tidak ada,” kata Djoko didampingi dr Heri Wijatmoko SpF dari Labfor Mabes Polri Cabang Surabaya.

Setelah olah TKP, kedua jenazah dievakuasi dan dibawa ke kamar mayat Instalasi Forensik RS Bhayangkara, Polda Jatim, sekitar pukul 11.30 WIB.

Sementara itu, dari informasi yang diberikan oleh kasir penginapan, Eni, pasutri tersebut masuk penginapan (check in) sejak Rabu (10/3) siang. ”Mereka seperti keluarga lain yang biasa menginap di tempat kami. Tidak ada yang mencurigakan,” kata Eni.

Hanya saja, saat check in itu, Tjua memberikan fotokopi KTP atas nama dirinya dengan alamat asal Lubuk Arai, RT 4, Desa Pelayang Raya, Kecamatan Sungai Penuh Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.

Waktu itu, Tjua langsung membayar lunas biaya penginapan untuk waktu dua malam sebesar Rp 90.000. Di penginapan yang memiliki 17 kamar itu, harga sewanya Rp 35.000 per malam untuk kamar dengan kamar mandi di luar. Sedangkan untuk kamar dengan kamar mandi dalam seperti yang disewa Tjua, sewanya Rp 45.000 per malam.

Selama menyewa kamar di rumah penginapan tersebut, menurut Eni, hanya Kim Ling saja yang sering keluar kamar bermain-main. Bocah yang mengaku tidak sekolah itu sering ikut Eni menonton televisi di kantor penginapan.

Eni sering menanyai Kim Ling bila sama-sama nonton TV. Kepada Eni, Kim Ling mengaku orangtuanya sedang banyak hutang. Cuma, anehnya, dari cerita Kim Ling, meskipun banyak hutang, pasutri itu juga sering bepergian ke banyak kota.

Kim Ling mengaku mereka pergi ke Batam, Bangkok (Thailand), dan Situbondo. ”Kadang naik bus, kadang naik kapal,” kata Eni menirukan penuturan Kim Ling.

Pada Kamis (11/3) sore, Eni mengaku Tjua dan istrinya bertanya kepadanya di mana gereja yang terdekat dari penginapan. Dijawab Eni,”Gereja Imanuel, di Jl Penghela.” Selanjutnya, pasutri itu berangkat ke gereja dengan berjalan kaki.

Kalau memang Tjua dan istrinya ke gereja, hal itu menimbulkan tanda tanya. Sebab, pada dua KTP milik Tjua yang diamankan polisi, tercatat bahwa Tjua dan istrinya beragama Buddha.

Di dalam kamar juga ditemukan doa bahasa Arab yang bertuliskan huruf latin dan beberapa lembar buku kecil berisi Surat Yasin.

Keterangan lain yang disampaikan Mamik saat diperiksa di Mapolsekta Bubutan, menyebutkan bahwa kondisi Risdianti terlihat seperti orang sakit sejak ia datang ke penginapan.

Hingga Jumat sore, polisi dan petugas Labfor masih melakukan pemeriksaan jenazah di kamar mayat RS Bhayangkara. Menurut salah satu petugas, mereka masih melakukan penelusuran kemungkinan adanya keluarga dari pasutri ini di Surabaya atau Jatim.

Diduga pasutri ini meninggal pada Kamis malam atau Jumat dini hari saat Kim Ling sedang lelap tidur. Hal itu berdasarkan kondisi jenazah yang telah kaku saat ditemukan di pagi harinya.